Wednesday, February 28, 2007

Evangeline Booth (1865-1950), pelaku reformasi sosial.

Bukannya seberapa banyak tahun yang telah kita jalani yang membuat hidup berarti,
tapi apa yang kita lakukan dalam tahun-tahun tersebut.
Bukannya apa yang kita terima yang bermakna,
tetapi apa yang kita berikan untuk orang lain.

Tuesday, February 27, 2007

Zamrud Khatulistiwa: Think

Zamrud Khatulistiwa: Think

Think

Terkadang aku harus mengakui apapun yang dulu pernah aku lakukan tidak luput dari beberapa kesalahan.....
Dan bila ku buka kembali lembaran lalu..... akupun menyadari bahwa kesalahan itu ada, dan sesungguhnya dalam hati ini aku tidak ingin melakukan kesalahan itu.... dan.....penyesalan dalam hatiku pun akan menghampiri....

Begitu yakinnya aku berada di jalanNya... hanya karena keshilafan kecil yang ku lakukan (yang sebenarnya bila aku bersabar semua itu akan dapat dijalani....................) semua menjadi berubah........... dan manis yang kurasakan itupun tinggal mimpi......

Aku tak ingin menyesali sesuatu yang telah terjadi..... aku hanya ingin bangkit merubah nasib... dan inipun memerlukan kesabaranku...... karena jika aku tidak sabar lagi, aku takut hal-hal yang tidak ku ingini akan terjadi padaku......

Aku berjalan bukan hanya sendiri, ada beberapa fikiran yang harus diselaraskan.... ada beberapa masalah yang terhadang.... dan ada beberapa kesempatan yang harus diraih....... semua itu pasti selalu ada.... dan kesalahan akan tiba-tiba saja hadir dibatas ketidak sabaran dan ketidaktahuanku menjalani kehidupan ini...

Aku kadang bergumam dalam hati, aku hanyalah ciri khas seorang interpreneur dan itu adalah nilai positif yang kuberikan untuk diriku.... walaupun sedikit narsis. dan bila saja putus asa menghampiriku, aku berfikir..... terlalu ambisiouskah aku?????

Saturday, February 24, 2007

Dua Keinginan


oleh Khalil Gibran

Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.
Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman -- berhati-hati tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.
Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, "Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!"
Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, "Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku."
Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan."
Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian."
Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku."
"Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.
Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu."
(dari "Kelopak-Kelopak Jiwa" - Gibran Khalil Gibran)