Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya
ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku
hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku
hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku
hanyalah titipan-Nya
Bahwa Putraku
hanyalah titipan-Nya
Tetapi, megapa aku tak pernah bertanya :
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali,
Kusebut itu sebagai musibah..
Kusebut itu sebagai ujian..
Kusebut itu sebagai petaka..
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita..
Ketika aku berdoa,
Kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku....
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil......
lebih banyak popularitas.....
dan kutolak sakit
kutolak kemiskinan....
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.....
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan matematika..
Aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku..
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang
dan bukan kekasih..
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku"..
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku..
Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanya untuk beribadah..
"Ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"...
(Puisi terakhir Renda yang dituliskannya diatas ranjang RS)